Pada awal bulan Maret ini, Selasa (5/03), Balai Taman Nasional Alas Purwo (BTNAP) menyelenggarakan workshop dengan tema “Peran Taman Nasional Alas Purwo dalam mendukung Indonesia FOLU Net Sink 2030” di Banyuwangi. Kegiatan in dihadiri oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian LHK se Blambangan, Pemerintah Daerah (Bappeda Kab Banyuwangi, Cabang Dinas Kehutanan Kabupaten Banyuwangi, Perum Perhutani KPH Banyuwangi Selatan, akademisi, lembaga swadaya masyarakat, serta kelompok binaan dan mitra kerja TNAP. Workshop ini diharapkan dapat memberikan masukan dan pemahaman bersama terkait FOLU Net Sink 2030, peran TN Alas Purwo serta peluang akses pendanaan dan pemanfaatannya.
FOLU (Forest and Other Land Use) Net Sink 2030 merupakan program nasional dalam rangka pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) untuk mengendalikan perubahan iklim. Sektor kehutanan berperan dalam menurunkan emisi sebesar 58,6% dari target pada tahun 2030. Sebagai kawasan hutan konservasi, TNAP berpotensi menyumbang kontribusi tinggi dalam peningkatan cadangan karbon dan berpeluang dalam pemanfaatan Result-Based Payment (RBP) REDD+.
Workshop kali ini menghadirkan empat narasumber yang berbagi pemikiran yaitu Penasihat Senior Menteri LHK, Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Kawasan Konservasi (PJLKK) Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), BTNAP selaku pengelola kawasan, dan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH).
Climate change – biodiversity adalah tantangan, teruslah bergerak dan berkontribusi.
Pada sesi pertama, Penasihat Senior Menteri, Dr. (HC) Wahjudi Wardojo menyampaikan pentingnya memahami hubungan antara hutan dan keanekaragaman hayati (kehati) di dalamnya melalui mitigasi perubahan iklim serta implikasinya pada skema target penurunan emisi proyek karbon. Selain perubahan iklim, emisi karbon juga berdampak pada krisis kehati. Namun agenda mitigasi saat ini belum menyinggung upaya untuk betul-betul memastikan kehati tersebut dilindungi dan dipulihkan. Meskipun tidak dapat terlibat dalam perdagangan karbon sukarela, namun pengelolaan taman nasional dapat berkontribusi dalam pencapaian target penurunan emisi nasional. Taman nasional sebagai habitat penting kehati harus tetap melakukan upaya-upaya perlindungan dan pelestarian yang berkelanjutan.
Berikutnya, Direktur Jenderal KSDAE yang diwakili oleh Kasubdit Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air, Panas Bumi dan Karbon, Sri Mina Ginting menyampaikan bahwa dalam struktur organisasi FOLU Net Sink 2030, kegiatan konservasi masuk dalam Bidang III dengan target 4+ aksi mitigasi. Salah satu indikator aksi mitigasi tersebut adalah meningkat dan bertambah luasnya habitat serta keanekaragaman hidupan liar fauna asli. Implementasi kegiatan yang dilakukan pada taman nasional berupa: pemantapan kawasan, pemberdayaan masyarakat (akses hasil hutan bukan kayu), pemberdayaan masyarakat (pemulihan ekosistem), serta pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Selanjutnya Mina menyampaikan bahwa saat ini implementasi Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam perdagangan karbon belum dapat dilaksanakan di kawasan konservasi. Hal ini salah satunya terkait belum adanya NSPK (time frame 2024). Adapun alokasi ruang dan peruntukan pemanfaatan jasa lingkungan karbon di kawasan hutan konservasi sebagai berikut:
- perdagangan karbon (market-based), dapat dilakukan di kawasan pelestarian alam (KPA);
- result-based payment (non-market) dengan jurisdictional approach, dapat dilakukan di kawasan suaka alam (KSA) maupun KPA.
Kepala Balai TNAP, Novita Kusuma Wardani menyampaikan bahwa secara nasional, Pulau Jawa (termasuk TNAP di dalamnya) memang bukan merupakan target prioritas. Namun bukan berarti TNAP tidak dapat berkontribusi, bahkan hal tersebut menjadi penyemangat dalam berperan mendukung FOLU Net Sink 2030 melalui kegiatan pengelolaan yang telah dan akan terus dilakukan. Kegiatan tersebut diantaranya dengan menghindari deforestasi yang berdampak pada penurunan emisi, peningkatan penyerapan dan penyimpanan cadangan karbon, pembinaan desa penyangga dan pemberdayaan masyarakat, serta perlindungan dan pelestarian kehati.
Pada sesi kedua, Kepala Divisi Penyaluran Dana Program BPDLH, Lia Kartikasari, menyampaikan gambaran mengenai skema pendanaan lingkungan hidup. BPDLH berperan dalam pengelolaan dana lingkungan termasuk di dalamnya mitigasi perubahan iklim di mana APBN hanya mengalokasikan 20% dari total pembiayaan yang dibutuhkan. Terdapat 2 mekanisme penyaluran dana yaitu langsung dan tidak langsung (melalui NGO/perantara) untuk berbagai kegiatan lingkungan hidup yang sangat berpotensi untuk diakses sebagai alternatif pembiayaan berkelanjutan.