Lelono dan Lelaku (Bagian 1)

Istilah Lelono bagi masyarakat sekitar Alas Purwo tidak asing sekali, karena itu merupakan sebutan bagi orang orang yang sering berjalan atau menetap selama kurun waktu tertentu di suatu situs atau tempat yang dikeramatkan. Istilah Lelono ini juga sering dikaitkan dengan istilah lelaku atau ritual yang amat beragam, sesuai dengan keyakinan dan ajarannya masing masing. Tentu ada banyak versi dan perspektif kalau kita bahas terkait  terminologi lelono dan sebagainya,itu wajar saja, semakin beragam maka akan semakin menarik.  Tapi  kali ini saya  mau coba membahas tentang lelono dari hasil observasi  ringan terhadap beberapa lelono yang saya  temui selama ini.

BIcara lelono dan lelaku, dua istilah tersebut hampir sama tetapi berbeda. Ada banyak sekali pendapat tentang dua hal itu, tetapi singkatnya saya sebut bahwa Lelono yang sesungguhnya pasti seorang yang sedang lelaku. Sementara seseorang yang sedang lelaku belum tentu mesti seorang Lelono.

Kalau begitu apa Lelono itu? Dalam catatan saya,  lelono itu adalah seseorang yang secara fisik berkelana (nglelono) mengembara ke berbagai tempat guna mencari suatu hal  atau guna memenuhi suatu hal yang amat dekat dengan spiritual.  Intinya  Lelono itu  salah satu bagian dari  lelaku seseorang untuk memperdalam ilmu  spiritual atau kebatinannya.

Dalam konteks Lelono di Alas Purwo, tidak bisa kita generalisirkan begitu saja, karena seorang Lelono satu dengan lainnya belum tentu sama, baik secara ajaran yang diikuti, pengetahuan yang dimiliki, ritual dan sarprasnya  yang digunakan, serta lokasi tempat ia melakukan ritualnya. Rata rata yang saya ajak ngobrol sering bicara “itu semua tergantung kemantapan hati atau tergantung dari Wahyu yang diterima”,  tergantung dengan “dhawuh guru/kyai” dan atau tergantung dengan kebiasaan paguyuban aliran kepercayaan tertentu.

Misalnya saat saya dikucur, ketemu dengan seseorang santri yang sudah 2 tahun tinggal disitu.  pas saya tanya mengapa ia disitu” karena perintah gurunya harus dilaksanakan, saya harus berada disini, sampai batas waktu yang tak ditentukan dan sampai ia sudah dirasa cukup. Sementara  di Goa Istana bertemu dengan seseorang dari Cilacap yang sudah 4bulan tinggal disana. Katanya ia sregnya disitu walau ia pernah juga pergi ke tempat lain seperti goa Mayangkoro, Goa Mangkleng dan lainnya, tapi kemudian kembali ke goa Istana lagi. saat saya tanya mengapa mau seperti itu, ia berkata bahwa ” mengikuti ajaran orang tua untuk berlatih mengerti hidup dan menjadi orang yang bebas lahir batin. Demikian juga saat saya ke Pancur, saya juga bertemu dengan seseorang dari lumajang yang sudah 1,5 tahun berada disitu.  ia bercerita mengapa tinggal di situ, karena hatinya lebih tenang dan merasa cocok berada di sendang yang ada di Pancur.

Rata rata para Lelono ini berasal dari luar wilayah desa, kabupaten, dan provinsi. Beberapa yang pernah saya temui langsung ada dari Jogja, Solo, Blitar, Kediri, Cilacap, Banten dan sebagainya. Tapi dari cerita para lelono dan petugas Taman Nasional, kebanyakan Lelono berasal dari pulau Jawa Sumatra dan provinsi lainnya (saya duga pasti mereka masih punya darah orang Jawa).

Mengapa Bali tidak saya sebut, padahal umat Hindu Bali sangat banyak yang sering melakukan ritual di Alas Purwo? Karena rata rata mereka datang bukan sebagai Lelono melainkan sebagai umat yang berziarah dan berdoa saja, tidak untuk menetap lama disana. Pun demikian orang Jawa atau suku lainnya lain yang datang hanya untuk ritual sebentar terus pulang, mereka bukan saya anggap sebagai bagian dari Lelono.

Seperti  hari ini saya bertemu dengan seorang pelaku spiritual dari jember, ia mau  menginap di  Goa Gong (?) selama beberapa hari. Saat saya mengapa disitu? ia menjawab karena pernah mendapat  petunjuk untuk datang  ke goa itu dan selama di Alas Purwo tidak pernah  menginap atau  nyepi di  situs/goa lainnya. Menariknya  ia tidak mau disebut sebagai  lelono, karena baginya  lelono itu  seperti musyafir yang  selalu berjalan kesana kesini, tidak seperti dia yang datang ke Goa Gong  kalau ada kebutuhan saja.

*Bersambung

Oleh : L Kresna Yuliantara, S.S – Pendamping Masyarakat Binaan TNAP (ARUPA)

Share this post