Tanpa biodiversitas tidak akan ada masa depan

Hutan tanpa kicau burung hanyalah tumpukan kayu

Begitulah salah satu pepatah yang menggambarkan kondisi krisis biodiversitas atau keanekaragaman hayati (kehati) saat ini. Karena bagi sebagian pihak, hutan hanya dipandang sebagai kawasan yang dipenuhi tegakan kayu. Namun bagaimana hutan dapat hidup dan memberi kehidupan, tegakan pohon an sich tidaklah cukup. Tumbuhan yang bercengkerama dan bersinergi dengan satwa dan sumber daya abiotik di dalam ekosistem yang lestari adalah sumber kehidupan untuk masa depan umat manusia.

Isu perubahan iklim masih sering dipandang sebagai dampak hilangnya cadangan karbon saja, sehingga upaya mitigasinya hanya berfokus pada penambahan tutupan lahan. Padahal jika mau ditelaah lebih dalam, banyak hal yang kait berkelindan, terutama keanekaragaman hayati di dalam kawasan hutan. Hal inilah yang menjadi inti pembahasan dalam workshop “Peran Taman Nasional Alas Purwo dalam mendukung Indonesia FOLU Net Sink 2030” di Banyuwangi, Selasa (5/3).

Balai Taman Nasional Alas Purwo (BTNAP) bertanggung jawab mengelola kawasan yang telah dimandatkan agar tetap menjadi hutan yang hidup. TNAP sebagai kawasan konservasi merupakan habitat berbagai jenis satwa yang berkontribusi menjaga kualitas air, udara dan sumber energi lainnya, menjadi laboratorium lapangan bagi peneliti dan akademisi, serta memberikan manfaat bagi masyarakat baik secara langsung (pemanfaatan hasil hutan bukan kayu) maupun tidak langsung (pemanfaatan jasa lingkungan). Upaya pengelolaan kehati TNAP dilakukan melalui berbagai upaya seperti: mempertahankan keutuhan kawasan sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, menjaga kelangsungan fungsi ekosistem serta pemanfaatan secara lestari. Hal ini secara tidak langsung juga melindungi dan meningkatkan cadangan karbon. “Ada karbon yang menjadi investasi,” ujar Novita Kusuma Wardani, Kepala Balai TNAP.

Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Kasubdit Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air, Panas Bumi dan Karbon pada Kawasan Konservasi, Sri Mina Ginting. Pada sesi diskusi, Mina menambahkan, “Implementasi karbon tidak hanya identik dengan menambah tutupan lahan, tetapi berkontribusilah kepada upaya dalam menjaga kehati.” Upaya penerapan nilai kehati dalam proyek karbon perlu mendapat perhatian dan dipertimbangkan secara matang.

Penasihat Senior Menteri LHK, Dr. (HC) Wahjudi Wardojo menekankan bahwa korelasi antara climate change dan kehati merupakan isu yang complicated. Para pakar kehati masih terus bergerak mencari bentuk terbaik terkait implementasi nilai kehati dalam mitigasi perubahan iklim. “Pesan saya, jangan menyerah, teruslah bergerak. Be the first. Jadilah pionir. Terus berinovasi dalam isu tersebut dan jangan ber-mindset problem tapi hadapilah sebagai challenge,” imbuhnya.

 Beliau menyampaikan bahwa TNAP dapat melakukan berbagai hal dalam mendukung FOLU Net Sink 2030 dengan upaya:

  1. Menguatkan inventarisasi sumber daya alam terutama keanekaragaman hayati baik flora, fauna, ekosistem, fisik, dan geologi secara berkala sehingga diperoleh baseline yang lengkap;
  2. Mengembangkan pemetaan data dan informasi secara spasial;
  3. Melakukan perhitungan nilai karbon dan kehati dengan metodologi yang sahih; dan
  4. Melakukan trend analysis kehati yang legitimate.

Share this post